Rabu, 11 November 2009

Fenomena Facebook di Indonesia



A. Pendahuluan

1. Latarbelakang Masalah

“Indonesia saat ini telah menjadi “the Republic of the Facebook” (Putra, 2009). Itulah headlines yang ditulis oleh Budi Putra mantan editor Harian Tempo yang dirilis oleh CNET Asia portal IT terkemuka di Asia pada awal bulan Januari 2009 lalu (Linkedin.com; 2009). Ungkapan ini terinspirasi oleh perkembangan penggunaan Facebook oleh masyarakat Indonesia yang mencapai pertumbuhan 645% pada tahun 2008. “Prestasi” ini menjadikan Indonesia sebagai “the fastest growing country on Facebook in Southeast Asia”. Bahkan, angka ini mengalahkan pertumbuhan pengguna Facebook di China dan India yang merupakan peringkat teratas populasi penduduk di dunia (Sahana, 2008).

Demam Facebook menggejala di Indonesia, sebagaimana yang dilaporkan oleh Tempo Interaktif 9 Februari 2009, dimulai pada pertengahan tahun 2008. Bahkan disebutkan juga hingga pertengahan 2007 Facebook nyaris tak dilirik pengguna Internet. Lonjakan pengguna Facebook pada pertengahan 2008 dibuktikan dengan statistik Facebook sebagai situs ranking kelima yang paling banyak diakses di Indonesia. Luar biasanya lagi, “Indonesia tercatat dalam sepuluh besar negara pemakai situs yang mulai dibuka untuk umum pada 2006 ini.” (Wiguna, 2009).

Melihat sepakterjang Facebook yang semakin familiar dan digandrungi oleh pengguna internet di Indonesia, membuat kita bertanya-tanya, seperti apakah bentuk, daya tarik, dan kelebihan situs jaringan sosial yang telah menjadi trandsetter dalam dunia virtual ini.

2. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Mengungkap muatan kapitalisme pada Facebook
2. Memberikan penyadaran kepada pengguna Facebook untuk tidak terjebak dalam permainanan kapitalis
3. Memberikan solusi alternatif untuk migrasi dari Facebook ke situs komunitas buatan dalam negeri.

B. Pembahasan

A. Sekilas tentang Facebook

Sebagaimana di rilis dalam Press Room official situs Facebook, dinyatakan bahwa web jaringan sosial ini pertama kali diluncurkan pada tahun 6 Februari 2004 dan bertujuan untuk memudahkan interaksi antar individu tanpa harus terikat oleh jarak dan sekat-sekat geografis.

“Ditemukan pada bulan Januari 2004, Facebook adalah sebuah sarana sosial yang membantu masyarakat untuk berkomunikasi secara lebih effisien dengan teman-teman, keluarga dan teman sekerja. Perusahaan ini mengembangkan teknologi yang memudahkan dalam sharing informasi melewati social graph, digital mapping kehidupan real hubungan sosial manusia. Siapun boleh mendaftar di Facebook dan berinteraksi dengan orang-orang yang mereka kenal dalam lingkungan saling percaya.” (Facebook.com; 2009)

Penemu situs pertemanan ini adalah Mark Zuckerberg seorang mahasiswa “droup out” Universitas Harvard Amerika Serikat. Dia dilahirkan pada 14 Mei 1984. Kejeniusan dan kreativitas lewat Facebook membuat anak muda ini menempatkan dirinya sebagai jajarang 400 orang terkaya di Amerika Serikat versi Majalah Forbes edisi September 2008, tepatnya peringkat 321 dengan total kekayaan 1,5 Miliyar Dollar US. (Forbes.com; September 2008)
Sebenarnya Zuckerberg adalah mahasiswa jurusan Psikologi Harvard. Mengutak-atik dan menciptakan program komputer hanyalah kegiatan untuk bersenang-senang. Mungkin latar belakang keilmuan psikologi itulah ia tertarik untuk membuat situs-situs sosial. Sebelum menciptakan facebook ia telah merilis Coursematch yang memudahkan para mahasiswa melihat mata kuliah yang diambil, Facemash yang memungkinkan para pengguna mengukur daya tarik orang lain.

Pada usia 20 tahun, Zuckerberg meluncurkan “The Facebook”. Awalnya diperuntukkan khusus bagi mahasiswa Universitas Harvard. Hanya dalam 24 jam setelah diluncurkan, 1.200 mahasiswa Harvard sudah menjadi anggota. Dalam sebulan, separuh warga Harvard menjadi anggota. Keberhasilan ini membuat Zuckerberg membuka keanggotaan “The Facebook” untuk seluruh mahasiswa di Boston. Belakangan dibuka bagi mahasiswa Ivy League (kelompok delapan kampus paling top Amerika Serikat), dan kemudian seluruh mahasiswa di Amerika Serikat (Wiguna, 2009).

Tepat awal februari yang lalu Facebook merayakan ulang tahunnya yang ke 5. Sejauh ini tercatat lebih dari 175 juta pengguna Facebook tersebar di seluruh dunia yaitu pengguna yang telah aktif dalam 30 hari terakhir (Facebook.com; 2009). 24 juta foto diunggah setiap hari, dan rata-rata jumlah teman per-anggota 120 orang (Nurhoiri, 2009).

B. Facebook di Indonesia

Pengguna Facebook di Indonesia masih didominasi oleh kaum kelas menengah ke atas yang memiliki akses internet (yang masih tergolong mahal di Indonesia). Kebanyakan mereka adalah pelajar, mahasiswa, dosen, pekerja, politisi serta beberapa tokoh-tokoh nasional.

Terhitung sampai 22 Februari 2009, 1.333.649 user Indonesia telah terdaftar di Facebook dan sekitar 73% (976.372 orang) di antaranya adalah user usia produktif (18-34 tahun). Dilihat dari gender, 688.306 user laki-laki dan 600.045 user perempuan.(Allfacebook.com; 2009)

Demam Facebook adalah kelanjutan dari keberhasilan situs komunitas Friendster yang berhasil menjaring 12 juta “registered users” atau sekitar 60% pengguna internet di Indonesia (Friendster.com; Juli 2008). Bahkan banyak pengguna Friendster yang melakukan migrasi ke Facebook karena layanan yang diberikan lebih lengkap dan mengikuti selera masyarakat. Facebook memiliki sederet fitur yang memungkinkan penggunanya berinteraksi langsung (real time), seperti chatting, tag foto, blog, game, dan update status ”what are you doing now” yang dinilai lebih keren dari Friendster.

C. Kapitalisme Informasional

Perdebatan kapitalisme di Indonesia seringkali mencurahkan perhatian yang besar pada perusahaan multinasional yang mengeruk kekayaan negeri ini bertahun-tahun lamanya (seperti Chevron, Freeford, dan Shell), kapitalisme yang diusung oleh institusi keuangan global, dan produk-produk seperti Mc Donnald, Mc D, dan CFC.

Banyak yang tak sadar bahwa situs perkawanan Facebook adalah bagian dari kapitalisme global. Mengapa penulis katakan demikian, karena banyak aktivis kampus, dosen, dan tokoh masyarakat yang selama ini getol menyuarakan “Anti Kapitalisme” dan “Anti Globalisme” menjadi anggota dari situs ini.

Berapapun banyak teman yang ada dalam jaringan Facebook, tidak memberikan pengaruh signifikan dalam hubungan sosial. Bahkan tidak pula menaikkan popularitas. Kegiatan virtual di Facebook hanyalah tamasya imajinasi. Hubungan yang terjalin adalah antar pelancong yang sedang berehat melepas beban kehidupan nyata mereka.

Siapakah sebenarnya yang menangguk keuntungan dengan kehadiran Facebook, jika setiap member terus mempromosikan layanan ini kepada orang-orang yang belum terdaftar? Meningkatnya pengguna Facebook akan memperbesar pendapatan sang pemilik perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat ini. Sebagaimana diketahui, Facebook tak sekedar situs komunitas sosial, tapi sebuah cooperate yang bermain dengan logika dagang untung dan rugi.

Member memang tidak membeli produk dalam bentuk barang. Malahan kegiatan yang dilakukan, dan keasyikan dengan perjumpaan dengan berbagai karakter manusia dari berbagai penjuru dunia, dilakukan sebatas sarana memperluas persahabatan. Semuanya diberikan gratis dan manfaat yang didapatkan juga berjibun. Jadi dimanakah letak sisi negatif dari kehadiran Facebook dalam ruang kehidupan.

Logika inilah yang dianut oleh pengguna Facebook terutama di Indonesia. Gencarnya kampanye kenikmatan memakai Facebook telah menular secara cepat sehingga tak salah pertumbuhan pengguna facebokk di indonesia mencapai angka 645% pada tahun 2008. Demam Facebook telah menaikkan posisi ekonomis perusahaan ini.

Dalam kajian ini penulis hendak menguraikan bahwa Facebook merupakan bagian dari kapitalisme global yang mencengkram sendi-sendi kehidupan kita. Mungkin ada yang menyela, dimana sih letak sisi kapitalismenya? Tidak ada uang yang dikeluarkan ketika bergabung dengan Facebook dan tidak ada produk yang dibeli. Malahan, berbagai kemudahan difasilitasi oleh Facebook. Sungguh aneh jika ada yang bilang, “Facebook telah memanipulasi potensi ekonomi para member”.

Jika persoalan ini didekati dengan logika kapitalisme yang belakangan semakin menguat lewat invasi perusahaan multinasional yang menggeruk kekayaan bumi Indonesia, atau semakin menjamurnya produk-produk berlabel internasional seperti KFC (Kentucy Fried Chicken), Mc Donnald ataupun Microsoft (yang mencantumkan lisensi produk-produknya dengan ratifikasi harga yang mahal), tentu bisa dikatakan Facebook bukanlah bagian dari kapitalisme.

Tapi, apakah sesederhana itu? Ternyata tidak. Penulis mengajak pembaca menelaah apa yang pernah diuraikan oleh Manuel Castells. Dalam buku Triloginya, The Information Age: Economic, Society, and Culture, Castells memunculkan istilah “kapitalisme informasional”, yakni “Masyarakat yang perkembangan sumber utama produktivitasnya adalah kapasitas kualitatif untuk mengoptimalkan kombinasi dan penggunaan faktor-faktor produksi berbasih pengetahuan dan informasi. Penyebaran kapitalisme informasional menimbulkan efek ekploitasi, eksklusi, ancaman terhadap diri, dan identitas.”(Ritzer, 2007; 583).

“Ekonomi informasional ini mendasarkan diri kepada kapasitas untuk menghasilkan, memproses, dan mengaplikasikan pengetahuan informasional secara effisien. Kapitalisme model ini tidak lagi memperoleh uang melalui proses produksi, tapi sistem jaringan global dimana uang diperoleh tanpa batas.” (Ritzer, 2007; 583).

Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Facebook secara gamblang dapat kita rujuk pada uraian George Ritzer. Yang dijual oleh Facebook adalah “nothing” (bentuk yang dibayangkan dan dikontrol secara sentral yang seluruh/sebagian besar kosong dari isi yang distingtif). “Mengekspor “nothing” ke seluruh dunia lebih mudah ketimbang menjual barang-barang yang penuh dengan isi/something. Karena produk “something” lebih besar kemungkinan untuk ditolak oleh beberapa kultur dan masyarakat karena isinya bertentangan dengan nilai/isi lokal. Sebaliknya,karena kosong dari isi yang distingtif, bentuk-bentuk kosong lebih kecil kemungkinan berkonflik dengan nilai/isi lokal. Selain itu, bentuk-bentuk kosong mempunyai keuntungan lain dari sudut sifat minimalis, mudah bereplikasi terus-menerus dan reproduksi relatif murah” (Ritzer, 2007; 595).

Menurut penulis, Facebook adalah bentuk komersialisasi “nothing”, yang sekarang sukses meraup keuntungan luar biasa. “Nothing” apa yang dijual Facebook? Naluriah alamiah manusia untuk berinteraksi secara menyenangkan. Ini adalah bisnis psikologis. Mula-mula memang hanya mampu mengaet ribuan orang (1200 mahasiswa Harvard). Dengan kejituan strategi bisnis lewat analisis ilmiah psikologi yang mampu dimainkan oleh Sang Kreator, Facebook berhasil menghipnotis jutaan orang di dunia. Publikasi terakhir menyebutkan 175 juta orang se-antero dunia dan 1.333.649 di antaranya ada di Indonesia menjadi member aktif Facebook. Jumlah ini akan terus bertambah karena bergabungnya orang-orang populer Indonesia, yang menjadi magnet bagi orang-orang biasa untuk mengikuti mereka dan kecendrungan migrasi pengguna Friendster Indonesia (yang mencapai 12 juta orang) ke Facebook.

Di Indonesia, penggemar Facebook rata-rata adalah golongan tingkat ekonomi menengah ke atas. Tentu ini menjadi peluang bisnis yang potensial bagi penawaran barang dan jasa. Pelanggan iklanpun berdatangan dan semakin ramai seiring meningkatnya popularitas Facebook. Tak tanggung-tanggung, menghadapi pemilu 2009 ini parpol dan para caleg ikut berkampanye lewat Facebook. Dari sinilah pundi-pundi income mengalir ke perusahaan jaringan sosial virtual ini.

Ketika iklan terus ditampilkan dan intensitas mengakses Facebook juga meningkat setiap hari, maka semakin kuatlah image iklan itu di pikiran. Situasi inilah yang diinginkan pemasang iklan, menguasai alam pikiran orang, hingga produk mereka menjadi terkenal dan secara tidak sadar akan dibeli.

Timbullah watak konsumeristik yang membelenggu diri. Klop sudah, alam bawah sadar yang telah disandera oleh kapitalisme informasional yang awalnya ditawarkan secara gratis, akan “memaksa” kita mengeluarkan sejumlah uang pada fase tertentu. Pengiklan dalam negeri yang melihat efektivitas beriklan di Facebook tentu rela melepas uang demi mempopulerkan “dagangan” mereka.

Itu baru dalam batas personal. Dalam scop yang lebih luas (negara), maka biaya bandwith yang mesti dikeluarkan untuk membayar akses luar negeri (karena Facebook berpusat di Amerika Serikat) juga semakin membengkak. Lagi-lagi uang terbang ke tangan asing tanpa kita sadari.

Kapitalisme adalah bentuk strategi dagang demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dan cendrung mengabaikan keseimbangan ekonomi antar kelas masyarakat. Kapitalisme menciptakan minoritas orang kaya dan mayoritas orang miskin, karena sumber-sumber ekonomi diserap oleh pada kalangan tertentu. Sebagaimana yang diketahui Facebook dikelola oleh segelintir orang, Mark Zuckerberg, Marc Andreessen, Jim Breyer, Don Graham dan Peter Thiel, sebagai Member. David Sze dan Paul Madera sebagai Observer. Dalam kamus kapitalis, roti yang ada di piring hendak diambil semuanya, dan mereka telah berhasil menempatkan diri sebagai punggawa orang-orang terkaya di dunia, terutama sang owner Mark Zuckerberg.

Jika demikian keadaannya, apa yang mesti dilakukan? Langkah-langkah apa yang mesti diambil untuk menghadapi masalah yang tak dianggap masalah ini? Penulis melihat persoalan ini sebagai persoalan mental. Mau tak mau, suka tak suka, mental “inlander” masih bersemanyam di alam bawah sadar sebagian kita. Popularitas Facebook begitu cepat meningkat karena trend ini adalah gaya hidup mahasiswa Harvard dan orang Amerika Serikat. “Mahasiswa Harvard saja gila sama Facebook”, “Orang-orang AS saja gandrung sama Facebook”. Harvard itu kan universitas kelas wahid se-dunia! AS itu kan negara maju dan kiblat segala-galanya! Jadi, ketinggalan zaman (ngak gaul donk) kalau tidak punya Facebook!

Persoalan mental, tentu harus diobati dengan terapi mental pula. Sebenarnya ada negara yang memboikot Facebook. Ya, Iran dan Syiria. Sikap negasi kedua negara ini menolak Facebook karena merasa terancam dengan pengaruh global yang akan mengacak-acak identitas kebangsaan mereka. “The enemies seek to assault our religious identity by exploiting the Internet” (Musuh mencoba menyerang identitas keyakinan kami dengan memanfaatkan media internet), itulah pernyataan Abdolsamad Khoram Abadi Advisor Kejaksaan Umum Pemerintah Iran, sebagaimana dilaporkan Koran Kargozaran Iran ketika menjawab pertanyaan “Kenapa Pemerintah Iran mengeluarkan kebijakan anti facebook?


Facebook yang muncul dengan latar belakang Amerika Serikat tentu tidak lepas dari kultur individualistik masyarakatnya. Meski demikian, hasrat alamiah ingin berinteraksi dengan orang lain tidak bisa mereka bendung. Maka diciptakanlah ruang-ruang yang bisa menyalurkan hasrat alamiah ini dengan tetap mempertahankan sikap individualistik itu. Tentu sarana yang tepat adalah internet dengan situs jaringan sosial yang bisa diakses secara privat/sendirian, tanpa harus melibatkan “emosional humanistik”, kecuali rasa kepercayaan(trust) saja.

Berbeda dengan kultur masyarakat Indonesia yang komunal. Tempat ekspresi individu lebih sering dilakukan di komunitas sosial baik itu payuguban maupun organisasi masyarakat, ataupun organisasi keagamaan. Keterlibata didasarkan pada satu tujuan bersama dan ikatan emosional. Dorongan yang muncul karena ada rasa “Saya ada bagian tak terpisahkan dari komunitas ini”.

Ketika ruang interaksi virtual ala Facebook mendominasi keseharian masyarakat, tentu saja waktu untuk berkumpul secara nyata ikut berkurang. Perlahan sisi humanis memudar karena perhubungan di Facebook lebih mengedepankan imajinasi dan visualisasi.

Kesadaran akan “tragisnya” nasib sebagai korban kapitalisme informasional seharusnya menghentakkan masyarakat untuk kemudian merenung diri bahwa “Saya adalah individu yang bebas dan bermartabat”. Negara berwibawa dan berkarakter berawal dari individu yang punya identitas. Sehingga harus ada gerakan perubahan mendayagunakan energi yang dimiliki untuk mengembangkan teknologi komunitas yang kuat dan situs komunitas virtual yang menguntungkan bangsa sendiri. Karena langkah proteksi sebagimana yang dilakukan oleh Iran dan Syiria (yang karakter masyarakatnya masih dikuasai oleh alam bawah sadar feodalistik), tidak tepat untuk masyarakat Indonesia yang haus dengan hal-hal yang baru.

Kehebatan Facebook adalah simpel dan elegan, didukung dengan banyak fitur dalam satu halaman. Spontanitas membuat orang enjoy dengan Facebook. Mereka bisa mengetahui secara langsung apa yang sedang dipikirkan atau yang dilakukan oleh teman-temannya sekaligus bisa langsung memberikan komentar. Semua berada pada satu halaman.

Untuk memutus rantai popularitas Facebook di Indonesia, dibutuhkan situs tandingan, karena cara yang dipakai Iran dan Syiria tidak konstruktif untuk konteks Indonesia. Kita perlu membuat situs komunitas baru Made In Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena tipikal masyarakat Indonesia yang pembosan. Sebagaimana diungkapkan oleh Psikolog Universitas Indonesia Niken Ardiyanti, demam facebook tidak tidak akan bertahan lama. Sebab para penggemar Facebook di Indonesia akan mudah bosan. “Ini sudah tipikal masyarakat Indonesia. Yang bosenan dan supaya tidak dibilang kampungan,” (Detiknews.com; 24 Februari 2009). Psikolog Niken Ardiyanti menilai tipikal orang Indonesia suka kagetan. Dulu booming SMS, e-mail, friendster, kini Facebook. ”Seakan-akan kalau tidak bergabung di FB nggak gaul,”. Sehingga dari pertimbangan ini peluang mengalihkan orang ke situs komunitas yang baru sangat dimungkinkan. (Republika.co.id; 15 Februari 2009).

Karakteristik konsumerisme menjadikan kita sebagai orang terjajah, memandegkan kreativitas. Facebook sebagai bentuk penguatan konsumerisme harus dilawan dengan menghadirkan fasilitas web komunitas sosial buatan anak bangsa sendiri. Yang tentunya harus lebih canggih, tapi tetap mengusung nilai-nilai luhur bangsa. Seperti apakah blog komunitas “peredam” Facebook ini? Situs baru ini harus paham dengan kebutuhan dan kecendrungan netter Indonesia. Konsep yang penulis tawarkan sebagai berikut:

1. Fasilitas telepon
Kelebihan Facebook dari situs komunitas yang lain adalah fasilitas chat. Oleh karena itu, penulis melihat dengan menyajikan fasilitas telepon akan membuat orang terbius, karena belum tercover oleh Facebook.

2. Berisikan informasi tentang buku
Situs komunitas haruslah membuat orang-orang di dalamnya menjadi cerdas. Oleh karena itu, ditampilkannya buku-buku baru dengan sinopsis yang menarik akan membuat suasana intelektual. Sehingga lambat-laun budaya membaca semakin massif. Sebagaimana kita ketahui, budaya baca masyarakat Indonesia masih rendah, dan sekarang budaya powerpoint sudah menggejala.

3. Lowongan kerja terbaru
Kalau kita perhatikan perkembangan blog di Indonesia, ada dua kontent yang paling banyak dicari yaitu masalah seks dan lowongan kerja. Oleh karena itu, penulis menilai, penampilan lowongan kerja perlu dimasukkan.

4. Memungkinkan member mendapatkan uang
Bersenang-senang di internet tentu menghabiskan waktu. Sangat disayangkan keasyikan berselancar mengurangi produktivitas. Ketika iklan yang ditampilkan di Facebook mendulang uang yang sangat banyak hanya masuk ke kantong sang pemilik perusahaan, maka dalam konsep situs baru ini dimungkinkan member juga mendapatkan reward berupa hadiah uang tunai. Reward ini bisa diberikan dengan sumbangan pemikiran lewat tulisan, lomba-lomba kreatif ataupun lewat klik iklan

5. Publikasi
Kenapa Facebook cepat menjalar di Indonesia? Tak lain dan tak bukan karena pemberitaan media yang membuat banyak orang penasaran, apa itu Facebook? Bahkan Koran Republika mengajak pembacanya untuk mengirimkan pengalaman mereka menggunakan Facebook. Sehingga situs komunitas “peredam” ini harus dipromosikan secara yang gencar dan kontroversial di media-media nasional dan lokal. Kerjasama pemerintah dan pemilik media sangat diperlukan dalam hal ini.

6. Aplikasi bahasa daerah
Seseorang akan enjoy ketika menggunakan bahasa ibunya. Penggunaan bahasa daerah di situs komunitas belum ada diberikan oleh Facebook. Oleh karena itu, untuk mengalahkan Facebook di Indonesia, pilihan seluruh bahasa daerah tanag air di situs komunitas baru ini sangat diperlukan. Tentu sangat mengasyikkan saling berkomunikasi dengan bahasa daerah sendiri, sekaligus mempertahankan bahasa-bahasa daerah dari kepunahan.

Perkembangan kapitalisme informasional dapat dilawan oleh gerakan massal suatu bangsa yang berusaha mempertahankan identitas mereka. Baik itu karena spirit religius, nasionalisme, keluarga dan komunitas. Agar berhasil gerakan tandingan ini harus bersandarkan pada informasi dan jaringan pula. Oleh karena itu situs komunitas made in Indonesia sangat diperlukan untuk menghadang laju facebook. Karena perang teknologi informasi tidak bisa dilawan dengan melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia. Ia harus dihadang, tentu dengan tawaran yang lebih hebat dari yang ada selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar